Rabu, 07 November 2012

Aliran Filsafat dan Kaitannya dalam Berfilsafat


Aliran filsafat bisa tergantung obyeknya. Jika obyeknya benda-benda alam, maka filsafatnya adalah filsafat alam. Namun, aliran filsafat juga bisa diberi nama sesuai dengan tokohnya. Misal Hegel, ia adalah tokoh yg mengatakan bahwa segala yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah. Jadi, filsafat sejarah adalah Hegelialism.
Aliran filsafat juga bisa dihubungkan dengan sifat, misalnya, benda dalam pikiran yang sifatnya ideal maka filsafatnya adalah idealism, artinya tetap. Aliran ini sesuai dg permenides termasuk plato. Bilangan itu tetap karena hal itu ada dalam pikiran. Kalau di luar pikiran, meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Bilangan lima (5) itu plural. Ada 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang berwarna hijau, biru, dan seterusnya. Oleh karena itu, filsafatnya adalah realism. Tokohnya adalah Aristotelian.

Selanjutnya, filsafat yang diperoleh dari jalan bertanya seperti yang dibawa Socrates, filsafatnya adalah dialektis. Jika yang benar itu satu, filsafatnya adalah monoisme. Yang benar 1 itu adalah Tuhan sehingga Tuhan itu monotheisme. Sedangkan yang benar banyak, hal itu adalah urusan dunia yang berkaitan dengan pikiran. Pikiran itu banyak sehingga pluralism. Yang benar dua yaitu dualism, seperti baik/buruk, boleh/tidak boleh, dan sebagainya, dan masyarakat kita cenderung dualism, tetapi kurang trampil membuat penjelasan antara baik dan buruk. Begitu mulai terbuka mengenal jarak antara baik dan buruk justru muncul penyalahgunaan, korupsi. Jadi, mengakui pedapat diriku yang benar termasuk subyetivism, tetapi mengakui orang lain benar termasuk obyektivism dan hal itu akan sulit diphami.
To determin adalah menentukan. Menentukan dalam arti seluas luasnya, sedalam dalamnya dan manusia tidak bisa lepas dari hal “to determin”. Contohnya, saya to determin terhadap bajuku, artinya saya menentukan nasib bajuku. Dengan demikian, determin absolute adalah Tuhan. Manusia yang senang menentukan disebut determinin, seperti para politikus, itu sangat to determin, filsafatnya determinis, termasuk juga sikap otoriter. Kegiatan melihat, memikirkan pun sudah determin. Determin sejalan dg reduksi, artinya memilih. Kodrat manusia adalah terpilih dan memilih, maka kita dalam rahim ibu itu terpilih. Jadi determin dan reduksi adalah metode yg sangat ampuh, tetapi itu juga bisa sangat membahayakan dan muerugikan. Melihat dia, maka kita akan rugi melihat dia yang lain, sehingga kita bersifat reduksi dan determin. Maka Tuhan menciptakan kedua mata kita dengan sempurna yang keduanya saling mendukung. Sangat berbahaya jika to determin menutupi sifat yang lain. Oleh karena itu, guru sama setaranya dengan murid karena sama halnya mencari kebenaran dan dalam berfilsafat bukan murid menerima filsafat dari guru, tetapi murid lah yang aktif belajar filsafat. Berfilsafat tidak bisa menggunakan metode yang instan, seperti dikatakan bahwa filsafat itu hidup, yaitu bergaul, interaksi, membaca, maka dalam belajar filsafat harus menggunakan metode hidup, tidak menerima  secara pasif, tetapi harus hidup dalam berinteraksi, bisa dengan membaca elegi-elegi.
Filsafatnya para dewa adalah transendentalis. Dewa itu adalah diriku/dirimu yang dimensinya setingkat lebih tinggi dari orang lain atau obyek lain yang ada di bawahnya. Sebagai contoh, kita adalah dewa bagi adik-adik kita karena kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dimengerti oleh adik kita. Ketika guru mengajar, maka guru adalah dewa bagi muridnya. Dalam siding cabinet misalnya, hal itu merupakan rapatnya para dewa dan orang yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang terpilih, dan biasanya juga termasuk keturunan para dewa. Jadi, dewa itu setiap yang ada dan yang mungkin ada terhadap sifat-sifatnya.
Belajar filsafat termasuk mempelajari komunikasinya para dewa, sehingga mempelajari filsafat tidaklah mudah, karena filsafat ini berdimensi-dimensi. Orang yang tidak mengerti tata karma maka ia bodoh karena tata krama itu ilmu. Maka berfilsafat itu sopan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam berbahasa kita harus mengerti posisi kita dengan lawan bicara kita. Hal itu akan terlihat jelas dalam berbahasa Jawa. Misalnya dalam bahasa Jawa, kata panjenengan, sampeyan, kowe, masing-masing kata tersebut digunakan saat dengan siapa kita berbicara. Hal seperti itu bersifat transenden. Jadi, berbahasa di kalangan para dewa perlu untuk dimengerti.
Perlu dimengerti bahwa dalam berfilsafat kita harus menerapkan sesuai dengan konteksnya. Bahaya orang berfilsafat adalah jika yang ada dalam filsafat ini tidak diterapkan secara kontekstual dan hanya parsial. Kata “dewa” jika dimaknai secara parsial dan tidak diterapkan secara kontekstual, hal itu akan sangat berbahaya. “Aku adalah dewa bagi adikku, hal itu akan salah jika diterapkan di luar karena tidak kontekstual. Jadi, dalam berfilsafat akan berbahaya jika hanya dimaknai secara parsial dan tidak kontekstual.

Pertanyaan:
1.      Apakah dewa-dewa itu bisa saling menjadi dewa antara satu dengan yang lainnya?
2.      Dikatakan bahwa manusia tidak bisa lepas dari “to determin”. Pertanyaannya, kapankah manusia lepas dari “to determin” mengingat manusia adalah makhluk ciptaan-Nya dan tak lepas dari takdir?

 Artikel  ini diramu dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika bersama Bpk Drs.Marsigit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar