Aliran
filsafat bisa tergantung obyeknya. Jika obyeknya benda-benda alam, maka
filsafatnya adalah filsafat alam. Namun, aliran filsafat juga bisa diberi nama
sesuai dengan tokohnya. Misal Hegel, ia adalah tokoh yg mengatakan bahwa
segala yang ada dan yang mungkin ada itu sejarah. Jadi, filsafat sejarah adalah Hegelialism.
Aliran
filsafat juga bisa dihubungkan dengan sifat, misalnya, benda dalam pikiran yang
sifatnya ideal maka filsafatnya adalah idealism, artinya tetap. Aliran ini sesuai dg
permenides termasuk plato. Bilangan itu tetap karena hal itu ada
dalam pikiran. Kalau di luar pikiran, meliputi yang ada dan yang mungkin
ada. Bilangan lima (5) itu plural. Ada 5 yang besar, 5 yang kecil, 5 yang berwarna hijau, biru, dan
seterusnya. Oleh karena itu, filsafatnya adalah realism. Tokohnya adalah Aristotelian.
Selanjutnya, filsafat
yang diperoleh dari jalan bertanya seperti yang dibawa Socrates, filsafatnya
adalah dialektis. Jika yang benar itu satu, filsafatnya adalah monoisme.
Yang benar 1 itu adalah Tuhan sehingga Tuhan itu monotheisme. Sedangkan yang benar
banyak, hal itu adalah urusan dunia yang berkaitan dengan pikiran. Pikiran itu
banyak sehingga pluralism. Yang benar dua yaitu dualism, seperti baik/buruk,
boleh/tidak boleh, dan sebagainya, dan masyarakat kita cenderung dualism,
tetapi kurang
trampil membuat penjelasan antara baik dan buruk. Begitu mulai terbuka mengenal jarak
antara baik dan buruk justru muncul penyalahgunaan, korupsi. Jadi, mengakui
pedapat diriku yang benar termasuk subyetivism, tetapi mengakui orang lain
benar termasuk obyektivism dan hal itu akan sulit diphami.
To
determin adalah menentukan. Menentukan dalam arti seluas luasnya, sedalam
dalamnya dan manusia tidak bisa lepas dari hal “to determin”. Contohnya, saya
to determin terhadap bajuku, artinya saya menentukan nasib bajuku. Dengan
demikian, determin
absolute adalah Tuhan. Manusia yang senang menentukan disebut determinin,
seperti para
politikus, itu
sangat to determin, filsafatnya
determinis, termasuk
juga
sikap otoriter. Kegiatan
melihat, memikirkan pun sudah determin. Determin sejalan dg reduksi, artinya
memilih. Kodrat manusia adalah terpilih dan memilih, maka kita dalam rahim ibu itu
terpilih. Jadi
determin dan reduksi adalah metode yg sangat ampuh, tetapi itu juga bisa sangat
membahayakan dan muerugikan. Melihat dia, maka kita akan rugi melihat dia yang lain, sehingga kita bersifat reduksi dan
determin. Maka Tuhan menciptakan kedua mata kita dengan sempurna yang keduanya
saling mendukung. Sangat berbahaya jika to determin menutupi sifat yang lain. Oleh karena itu, guru sama
setaranya dengan murid karena sama halnya mencari kebenaran dan dalam
berfilsafat bukan murid menerima filsafat dari guru, tetapi murid lah yang
aktif belajar filsafat. Berfilsafat tidak bisa menggunakan metode yang instan,
seperti dikatakan bahwa filsafat itu hidup, yaitu bergaul, interaksi,
membaca, maka dalam belajar filsafat harus menggunakan metode hidup, tidak menerima secara pasif, tetapi harus hidup dalam
berinteraksi, bisa dengan
membaca elegi-elegi.
Filsafatnya
para dewa adalah transendentalis. Dewa itu adalah diriku/dirimu yang dimensinya
setingkat
lebih tinggi dari orang lain atau obyek lain yang ada di bawahnya. Sebagai contoh, kita adalah dewa bagi adik-adik kita karena kita
dapat melakukan sesuatu yang tidak dimengerti oleh adik kita. Ketika guru mengajar, maka
guru adalah dewa bagi muridnya. Dalam siding cabinet misalnya, hal itu merupakan rapatnya para dewa dan orang
yang ada di dalamnya
adalah orang-orang
yang terpilih, dan biasanya juga termasuk keturunan para dewa. Jadi, dewa itu setiap
yang ada dan yang mungkin ada terhadap
sifat-sifatnya.
Belajar
filsafat termasuk
mempelajari
komunikasinya para
dewa, sehingga mempelajari filsafat tidaklah mudah, karena filsafat ini berdimensi-dimensi. Orang
yang tidak mengerti tata
karma maka ia bodoh karena tata krama itu ilmu. Maka berfilsafat itu sopan
santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam
berbahasa kita harus mengerti posisi kita dengan lawan bicara kita. Hal itu
akan terlihat jelas dalam berbahasa Jawa. Misalnya dalam bahasa Jawa, kata panjenengan, sampeyan, kowe,
masing-masing kata tersebut digunakan saat dengan siapa kita berbicara. Hal seperti itu bersifat
transenden. Jadi, berbahasa di kalangan para dewa perlu untuk dimengerti.
Perlu
dimengerti bahwa dalam berfilsafat kita harus menerapkan sesuai dengan
konteksnya. Bahaya orang berfilsafat adalah jika yang ada dalam filsafat ini tidak diterapkan
secara
kontekstual dan hanya parsial. Kata “dewa” jika dimaknai secara parsial dan tidak
diterapkan secara kontekstual, hal itu akan sangat berbahaya. “Aku adalah dewa bagi adikku”, hal itu akan salah jika
diterapkan di luar karena tidak kontekstual. Jadi, dalam berfilsafat akan
berbahaya jika hanya dimaknai secara parsial dan tidak kontekstual.
Pertanyaan:
1.
Apakah dewa-dewa itu bisa saling menjadi dewa antara satu
dengan yang lainnya?
2.
Dikatakan bahwa manusia tidak bisa lepas dari “to determin”.
Pertanyaannya, kapankah manusia lepas dari “to determin” mengingat manusia
adalah makhluk ciptaan-Nya dan tak lepas dari takdir?
Artikel ini diramu dari perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika bersama Bpk Drs.Marsigit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar